Halaman

Rabu, 30 November 2011

Izinkanku


Aku hanya ingin selalu bisa mengenangmu, kala aku duduk disampingmu, menggenggam kedua tanganmu sambil menatap kedua bola matamu yang indah. Iya, disudut kampus kita, aku pernah terlihat bodoh di depan senior karena membelamu saat masa ospek dulu. Kala teriakanmu membuatku khawatir saat seekor cecak karet dilempar kearahmu. Aku melompat dan menonjok senior tengil itu. Merekapun mengeroyokko, tapi kau tetap berusaha membelaku, sambil berteriak “Dia kakakku, jangan sakiti kakakku” . Mereka pun percaya kalau kita ini bersaudara. Mereka tak bisa membaca bias getaran cinta dimata kita, dan tak mampu mendengar bunyi infrasonik dari kasih sayang kita. Meskipun akhirnya mereka tahu kalau kita ini adalah sepasang kekasih yang saling mencinta.
Masih kuingat tujuh tahun silam, kala itu kita duduk di kelas II SMA. Olimpiade fisika Tingkat Nasional menjadi awal pertemuan kita. Kuakui aku takjub saat pertama kali melihat pesonamu, aku kalut melihat tatapan mata yang disertai senyum manismu. Kucoba mendekatimu meskipun malu-malu, tapi kuberanikan diri untuk menyakan namamu “Dwiyanti Permita Dewi” ucapmu sambil menggenggam tanganku, “ Galih Perdana Putra” jawabku gugup. Akupun mencoba menebak kalau kau adalah anak kedua dari namamu. Tapi, dengan senyum manismu kau berkata kalau kau adalah anak sulung dalam keluargamu. Semenjak perkenalan itu, hari-hari olimpiade fisika diisi dengan kebersamaan kita. Teman-teman sering mengejek kita dengan ungkapan “Muka jodoh”, pasalnya wajah kita sangatlah mirip. Setiap kali mereka mengejek, kita hanya bisa bertatapan dengan penuh arti. Aku mengerti arti tatapanmu dan kaupun mengerti segala yang tersirat dari kedua bola mataku. Sayangnya waktu seminggu berlalu begitu cepat, kitapun harus berpisah. Namun tak ada hari yang kita lewati tanpa saling menghubungi, sambil bercerita suka duka hari yang kita lewati. Aku selalu rindu ingin mendengar getaran pita suaramu. Rindu mendengar sapaan kecilmu atau sekedar meresapi tawamu yang khas. Meskipun lembah dan bukit memisahkan kita, namun masa cinta yang kita lalui tetap indah.
Sampai akhirnya bangku kuliah mempertemukan kita. Minat dibidang fisika yang membuat kita menjadi semakin dekat. Aliran gelombang cinta pun semakin membadai, dalam tegangan yang sangat tinggi namun kita tidak pernah membutuhkan ohm meter karena cinta kita tak pernah ada hambatan.
Aku masih ingin mengulang masa itu, masa ketika kau duduk bersandar dibahuku, dan bercerita tentang masa-masa kecilmu. Hidup dengan ibumu yang buta tapi penuh cinta. Yang menyayangimu, yang memenuhi segala keinginanmu. Kaupun menceritakan betapa bahagianya ibumu saat kau berhasil masuk kelas akselerasi di masa SMP dan SMA, serta diterima di PTN favorit melalui jalur siswa berprestasi. Tapi kau selalu merasa bingung pada ayahmu yang tidak pernah berpihak padamu dan lebih menyayangi adik-adikmu daripada dirimu. Tapi kau selalu berkata “ Ayah ingin menjadikanku wanita yang kuat, jadi ayah tidak ingin memanjakanku”. Aku hanya bisa membelai rambutmu yang lembut dan wangi. Sambil terkadang menatap matamu yang indah.
Entah mengapa malam ini, aku sangat ingin mengenang malam itu, padahal saat ini kau sedang duduk didepanku dengan senyum manis yang tersungging untukku. Malam itu, saat kita baru saja menyelesaikan tugas dan kelelahan, kau mengajak keluar untuk menghirup udara segar di tepi danau kampus kita. Malam itu kau memintaku bercerita tentang keluargaku. Jujur kukatakan, dalam hati kecilku sangat berat untuk bercerita perihal keluargaku pada orang lain. karena keluargaku tak sebahagia keluargamu. Tapi, tatapan matamu meyakinkanku kalau keluargaku akan menjadi keluargamu nantinya. Dan saat ini semuanya memang tewujud kita satu keluarga. Akupun bercerita tentang ayahku yang sangat kusegani, sangat kukagumi dan merupakan kekuatan terbesarku. Ayah yang sekaligus menjadi ibu dalam hidupku. Ayah yang berusaha bangkit dari serangan sakit hati karena ditinggalkan oleh ibu, wanita yang sangat dicintainya. Ibu meninggalkan kami saat aku berusia satu tahun dan dua bulan, karena pernikahan mereka yang tidak mendapat restu dari orang tua ibu. Ayah hanya bisa pasrah, meskipun ayah tahu bahwa ibu sangat mencintainya, tapi ayah merelakan ibu pergi untuk mengejar bahagianya, meskipun bahagia itu tidak bersama ayah.  Meskipun aku hidup tanpa ibu, aku tak pernah merasa terlalu kehilangan sosok ibu karena ayah mampu menghadirkan sosok itu dalam kasih sayangnya. Tapi ayahpun tak pernah mengajariku untuk membenci ibu. Bahkan ayah selalu berkata kalau ibu sangat mencintaiku meskipun aku tak tahu dari mana ayah mengetahui semua itu.  Seusai berbicara, Akupun berbalik ke arahmu dengan mata yang memerah dan menatap kedua bola matamu yang sayu. Dengan lembut kau usap mataku  dan berbisik di telingaku “ Aku takkan pernah meninggalkanmu kecuali ajal yang memisahkan, aku hanya akan bahagia jika bersamamu” ucapmu sambil membalas tatapanku seolah kau tahu semua kekhawatiran hatiku, “ Dan berjanjilah untuk selalu mempertahankanku, mempertahankan cinta kita” ucapanmu begitu lembut namun menghentakkan hatiku, aku hanya bisa mengangguk dan memelukmu erat seolah tak ingin melepaskan kebahagiaannku saat itu.
Saat ini memang kita tak pernah terpisahkan tapi entah apa sebabnya aku lebih suka mengenangmu daripada melihatmu di hadapanku.
Seandainya bisa, aku ingin mengulang saat aku memperkenalkanmu kepada ayah. Kau dengan pandainya menghibur hati ayah yang biasanya tak bergairah pada wanita semenjak kepergian ibu. Kau memijat kaki ayah, dan bercerita tentang tokoh “Santiago” dalam buku the alchemist, yang merupakan buku kesukaan ayah. Aku sudah sangat  yakin padamu, kaulah wanita yang akan membahagiakan keluarga kecilku, membahagiakan ayahku di usia senjanya.
Seminggu setelah kubawa kau bertemu ayah, kau tak ingin kalah. Kau memperkenalkanku pada keluargamu. Pada ibumu, ayah dan kedua orang adikmu. Aku sangat menikmati saat-saat bersama dengan ibumu, juga dengan adik-adikmu. Aku hanya sangat terkejut ketika kau berkata pada ibumu bahwa kita akan segera merencanakan pernikahan kita. Namun, ibumu menyerahkan semua keputusan kembali kepadamu. Aku sangat bahagia, rasanya aku terbang ke langit ke-7. Sungguh bahagiaku tak tergambarkan.
Semenjak hari itu kita semakin dekat dan seolah tak terpisahkan. Kemanapun kita selalu bersama. Semenit saja aku tak disampingmu, kau akan menelponku, begitu pula diriku, semenit tanpamu bagaikan setahun di dunia yang tanpa udara.
Hingga disuatu pagi yang cerah, kuminta ayah untuk menjalankan rencanaku. Aku merengek pada ayah untuk melamarmu hari itu juga, sebagai kado ulang tahunmu. Dengan kasih sayangnya yang teramat sangat, ayah tak mampu menolak keinginanku. Akupun segera menelponmu dan mengabari berita bahagia itu. Kau begitu sumringah dan berteriak-teriak kegirangan.” Datanglah sayang aku menunggumu, dan jawaban yang kau harapkan akan kau dapatkan” Ucapmu lembut terdengar begitu menenangkan hatiku.
Aku dan ayahpun datang ke rumahmu siang itu tepat pukul satu. Dengan senyum manismu kau bersama ayah dan kedua orang adikmu menyambutku dan ayahku. Sungguh cantik dirimu, dibalut kebaya berwarna putih dengan rambut terurai dan bibir yang merah alami tanpa polesan. Aku tak henti-hentinya menatap ke arahmu seoalah tak pernah bosan melihatmu. Dan kau dengan wajah yang malu-malu mencoba menunduk setiap kali aku menatapmu, meskipun kutahu sudut matamu tetap mengarah padaku.
Kitapun berjalan memasuki ruang tamu rumahmu, berbincang begitu hangat. Ayahku dan ayahmu begitu akrab sampai akhirnya ayahku mencoba mengarah ke pembicaraan yang lebih serius. Akupun menanyakan ibumu, kau dengan langkah lemah lembutmu memasuki kamar untuk menjemput ibumu dengan kursi rodanya.  
-----------------------
“Acara lamaran ini harus dihentikan, pernikahanmu tidak boleh terjadi”, teriak ayah memekik dengan wajah memerah. Akupun bingung tak mengerti dengan ucapan ayah. Sementara dirimu hanya mampu terbelalak dibalik kursi roda ibumu
“ Ada apa ayah? Tenanglah Ayah, bicara baik-baik” Ucapku sambil memegang lengan ayah dengan bahasa yang terbata-bata.
“ Ada apa pak, bicaralah baik-baik” Ucap Ayahmu dengan tenang.
“Tidak, yang jelas pernikahan ini tidak dapat dibiarkan terjadi” ucap ayah sambil melangkah meninggalkan kursi tempatnya duduk. Aku mencoba meraih lengan ayah, tapi berhasil ditepis olehnya.
“Ayah, tolong jelaskan, menagapa ayah langsung berubah, tolong jelaskanlah ayah!” pintaku memelas sambil terus mengikuti langkah ayah.  Sementara kulihat dirimu hanya menangis dan terlihat galau.
“Dengarkan ayah, Wanita itu takkan pernah pantas untukmu!” Ujar ayah sambil memegang leherku dengan tatapan mata yang begitu menyala. “Kau, tak perlu banyak tanya lagi, ikuti saja ayah, kita pulang sekarang” Perintah ayah padaku sambil menarik tanganku dengan keras. Aku kembali menoleh kearahmu, kulihat mata gadisku semakin memerah, wajah bahagianya beruabah mendung, karena diterpa badai elnino yang datang diluar perkiraan.  Aku sangat bingung saat itu, ayah yang tiba-tiba berubah seratus delapan derajat tanpa sebab dan musabab yang jelas. Aku tak dapat menghentikan keinginan ayah hari itu. Ia hanya berjalan dengan cepat, penuh kemarahan dengan wajah yang memerah meninggalkan rumahmu. Aku hanya bisa mengikuti keinginannya. Hanya menurutinya saat itu, sambil menatap dirimu yang tetap berdiri membatu dengan air mata yang terus berlinang. Aku merasa sangat pengecut saat itu, aku mengingkari janjiku padamu, namun akupun seolah tak punya daya menghadapi ayahku saat itu, ayah yang tak pernah membentakku, ayah yang penuh kasih sayang yang tiba-tiba berubah menjadi sangat kasar.
Kini kau kembali duduk di hadapanku, tersenyum manis seperti dulu sedangkan Ayah duduk disampingmu, menatapmu dengan penuh makna.  Namun, aku lebih memilih kenangan tentangmu daripada dirimu.  Kenangan masa olimpiade fisika, Kenangan Long distance yang kita lalui, ataupun kenangan semasa kuliah dulu. Aku sangat mencintai  kenangan tentangmu kekasihku melebihi cintaku pada dirimu saat ini.
Takdir hidup kita memang indah. Bertemu, saling mengagumi, saling jatuh cinta, saling berjanji tak terpisah satu sama lain dan berjanji segala yang indah tentang cinta. Tapi, diperhadapkan dengan kenyataan yang sulit untuk kuterima dengan ikhlas. Sungguh Indah takdirmu Tuhan. Sayangnya, Aku tak dapat menikmati keindahannya. Takdir terlalu indah untuk dijangkau oleh kapasitas kapasitor otakku.  Meskipun kekasihku telah kau dekatkan kepadaku bahkan selalu seatap denganku dan ayahku. Tapi keindahan yang kau berikan dulu sungguh tak seindah saat ini.
Kini kubuka kembali syair kecil yang menggambarkan kekagumanku padamu, puisi terakhir yang kutulis sebagai pencinta bagimu yang dicintai sang pencinta yang hatinya dipatahkan oleh sang Pencipta Cinta  yang konon katanya memiliki cinta sejati.

Masih tercium wangi rambutmu
Masih kurasakan lembut
Saat kubelai helai demi helai
Seolah kurasakan  kecupan tiap helainya

Aku pernah berkata “kusuka Mata indahmu”
Tapi kau hanya terus menatapku
Tatapan penuh kasih
Tatapan yang tak pernah kulupakan
Tatapan yang selalu kurindukan

Aku cinta dirimu
Dan kutahu
Kaupun mencintaiku

Tatapan kita
Senyuman kita
Bahasa tubuh kita
Genggamana kita
Dan dekapan kita
Semua milik kita

Kini semua milik kita
Harus kita relakan
Untuk tidak menjadi milik kita
Karena kita milik mereka

Ayahku adalah ayah kita
Ibumu adalah ibu kita
Mereka orang tua kita
Orang tua yang memisahkan kita
Orang tua yang menjebak kita
Dengan ketidakberdayaan cinta mereka
Yang melahirkan cinta terlarang diantara kita.

Tidak ada komentar: