Halaman

Rabu, 30 November 2011

Izinkanku


Aku hanya ingin selalu bisa mengenangmu, kala aku duduk disampingmu, menggenggam kedua tanganmu sambil menatap kedua bola matamu yang indah. Iya, disudut kampus kita, aku pernah terlihat bodoh di depan senior karena membelamu saat masa ospek dulu. Kala teriakanmu membuatku khawatir saat seekor cecak karet dilempar kearahmu. Aku melompat dan menonjok senior tengil itu. Merekapun mengeroyokko, tapi kau tetap berusaha membelaku, sambil berteriak “Dia kakakku, jangan sakiti kakakku” . Mereka pun percaya kalau kita ini bersaudara. Mereka tak bisa membaca bias getaran cinta dimata kita, dan tak mampu mendengar bunyi infrasonik dari kasih sayang kita. Meskipun akhirnya mereka tahu kalau kita ini adalah sepasang kekasih yang saling mencinta.
Masih kuingat tujuh tahun silam, kala itu kita duduk di kelas II SMA. Olimpiade fisika Tingkat Nasional menjadi awal pertemuan kita. Kuakui aku takjub saat pertama kali melihat pesonamu, aku kalut melihat tatapan mata yang disertai senyum manismu. Kucoba mendekatimu meskipun malu-malu, tapi kuberanikan diri untuk menyakan namamu “Dwiyanti Permita Dewi” ucapmu sambil menggenggam tanganku, “ Galih Perdana Putra” jawabku gugup. Akupun mencoba menebak kalau kau adalah anak kedua dari namamu. Tapi, dengan senyum manismu kau berkata kalau kau adalah anak sulung dalam keluargamu. Semenjak perkenalan itu, hari-hari olimpiade fisika diisi dengan kebersamaan kita. Teman-teman sering mengejek kita dengan ungkapan “Muka jodoh”, pasalnya wajah kita sangatlah mirip. Setiap kali mereka mengejek, kita hanya bisa bertatapan dengan penuh arti. Aku mengerti arti tatapanmu dan kaupun mengerti segala yang tersirat dari kedua bola mataku. Sayangnya waktu seminggu berlalu begitu cepat, kitapun harus berpisah. Namun tak ada hari yang kita lewati tanpa saling menghubungi, sambil bercerita suka duka hari yang kita lewati. Aku selalu rindu ingin mendengar getaran pita suaramu. Rindu mendengar sapaan kecilmu atau sekedar meresapi tawamu yang khas. Meskipun lembah dan bukit memisahkan kita, namun masa cinta yang kita lalui tetap indah.
Sampai akhirnya bangku kuliah mempertemukan kita. Minat dibidang fisika yang membuat kita menjadi semakin dekat. Aliran gelombang cinta pun semakin membadai, dalam tegangan yang sangat tinggi namun kita tidak pernah membutuhkan ohm meter karena cinta kita tak pernah ada hambatan.
Aku masih ingin mengulang masa itu, masa ketika kau duduk bersandar dibahuku, dan bercerita tentang masa-masa kecilmu. Hidup dengan ibumu yang buta tapi penuh cinta. Yang menyayangimu, yang memenuhi segala keinginanmu. Kaupun menceritakan betapa bahagianya ibumu saat kau berhasil masuk kelas akselerasi di masa SMP dan SMA, serta diterima di PTN favorit melalui jalur siswa berprestasi. Tapi kau selalu merasa bingung pada ayahmu yang tidak pernah berpihak padamu dan lebih menyayangi adik-adikmu daripada dirimu. Tapi kau selalu berkata “ Ayah ingin menjadikanku wanita yang kuat, jadi ayah tidak ingin memanjakanku”. Aku hanya bisa membelai rambutmu yang lembut dan wangi. Sambil terkadang menatap matamu yang indah.
Entah mengapa malam ini, aku sangat ingin mengenang malam itu, padahal saat ini kau sedang duduk didepanku dengan senyum manis yang tersungging untukku. Malam itu, saat kita baru saja menyelesaikan tugas dan kelelahan, kau mengajak keluar untuk menghirup udara segar di tepi danau kampus kita. Malam itu kau memintaku bercerita tentang keluargaku. Jujur kukatakan, dalam hati kecilku sangat berat untuk bercerita perihal keluargaku pada orang lain. karena keluargaku tak sebahagia keluargamu. Tapi, tatapan matamu meyakinkanku kalau keluargaku akan menjadi keluargamu nantinya. Dan saat ini semuanya memang tewujud kita satu keluarga. Akupun bercerita tentang ayahku yang sangat kusegani, sangat kukagumi dan merupakan kekuatan terbesarku. Ayah yang sekaligus menjadi ibu dalam hidupku. Ayah yang berusaha bangkit dari serangan sakit hati karena ditinggalkan oleh ibu, wanita yang sangat dicintainya. Ibu meninggalkan kami saat aku berusia satu tahun dan dua bulan, karena pernikahan mereka yang tidak mendapat restu dari orang tua ibu. Ayah hanya bisa pasrah, meskipun ayah tahu bahwa ibu sangat mencintainya, tapi ayah merelakan ibu pergi untuk mengejar bahagianya, meskipun bahagia itu tidak bersama ayah.  Meskipun aku hidup tanpa ibu, aku tak pernah merasa terlalu kehilangan sosok ibu karena ayah mampu menghadirkan sosok itu dalam kasih sayangnya. Tapi ayahpun tak pernah mengajariku untuk membenci ibu. Bahkan ayah selalu berkata kalau ibu sangat mencintaiku meskipun aku tak tahu dari mana ayah mengetahui semua itu.  Seusai berbicara, Akupun berbalik ke arahmu dengan mata yang memerah dan menatap kedua bola matamu yang sayu. Dengan lembut kau usap mataku  dan berbisik di telingaku “ Aku takkan pernah meninggalkanmu kecuali ajal yang memisahkan, aku hanya akan bahagia jika bersamamu” ucapmu sambil membalas tatapanku seolah kau tahu semua kekhawatiran hatiku, “ Dan berjanjilah untuk selalu mempertahankanku, mempertahankan cinta kita” ucapanmu begitu lembut namun menghentakkan hatiku, aku hanya bisa mengangguk dan memelukmu erat seolah tak ingin melepaskan kebahagiaannku saat itu.
Saat ini memang kita tak pernah terpisahkan tapi entah apa sebabnya aku lebih suka mengenangmu daripada melihatmu di hadapanku.
Seandainya bisa, aku ingin mengulang saat aku memperkenalkanmu kepada ayah. Kau dengan pandainya menghibur hati ayah yang biasanya tak bergairah pada wanita semenjak kepergian ibu. Kau memijat kaki ayah, dan bercerita tentang tokoh “Santiago” dalam buku the alchemist, yang merupakan buku kesukaan ayah. Aku sudah sangat  yakin padamu, kaulah wanita yang akan membahagiakan keluarga kecilku, membahagiakan ayahku di usia senjanya.
Seminggu setelah kubawa kau bertemu ayah, kau tak ingin kalah. Kau memperkenalkanku pada keluargamu. Pada ibumu, ayah dan kedua orang adikmu. Aku sangat menikmati saat-saat bersama dengan ibumu, juga dengan adik-adikmu. Aku hanya sangat terkejut ketika kau berkata pada ibumu bahwa kita akan segera merencanakan pernikahan kita. Namun, ibumu menyerahkan semua keputusan kembali kepadamu. Aku sangat bahagia, rasanya aku terbang ke langit ke-7. Sungguh bahagiaku tak tergambarkan.
Semenjak hari itu kita semakin dekat dan seolah tak terpisahkan. Kemanapun kita selalu bersama. Semenit saja aku tak disampingmu, kau akan menelponku, begitu pula diriku, semenit tanpamu bagaikan setahun di dunia yang tanpa udara.
Hingga disuatu pagi yang cerah, kuminta ayah untuk menjalankan rencanaku. Aku merengek pada ayah untuk melamarmu hari itu juga, sebagai kado ulang tahunmu. Dengan kasih sayangnya yang teramat sangat, ayah tak mampu menolak keinginanku. Akupun segera menelponmu dan mengabari berita bahagia itu. Kau begitu sumringah dan berteriak-teriak kegirangan.” Datanglah sayang aku menunggumu, dan jawaban yang kau harapkan akan kau dapatkan” Ucapmu lembut terdengar begitu menenangkan hatiku.
Aku dan ayahpun datang ke rumahmu siang itu tepat pukul satu. Dengan senyum manismu kau bersama ayah dan kedua orang adikmu menyambutku dan ayahku. Sungguh cantik dirimu, dibalut kebaya berwarna putih dengan rambut terurai dan bibir yang merah alami tanpa polesan. Aku tak henti-hentinya menatap ke arahmu seoalah tak pernah bosan melihatmu. Dan kau dengan wajah yang malu-malu mencoba menunduk setiap kali aku menatapmu, meskipun kutahu sudut matamu tetap mengarah padaku.
Kitapun berjalan memasuki ruang tamu rumahmu, berbincang begitu hangat. Ayahku dan ayahmu begitu akrab sampai akhirnya ayahku mencoba mengarah ke pembicaraan yang lebih serius. Akupun menanyakan ibumu, kau dengan langkah lemah lembutmu memasuki kamar untuk menjemput ibumu dengan kursi rodanya.  
-----------------------
“Acara lamaran ini harus dihentikan, pernikahanmu tidak boleh terjadi”, teriak ayah memekik dengan wajah memerah. Akupun bingung tak mengerti dengan ucapan ayah. Sementara dirimu hanya mampu terbelalak dibalik kursi roda ibumu
“ Ada apa ayah? Tenanglah Ayah, bicara baik-baik” Ucapku sambil memegang lengan ayah dengan bahasa yang terbata-bata.
“ Ada apa pak, bicaralah baik-baik” Ucap Ayahmu dengan tenang.
“Tidak, yang jelas pernikahan ini tidak dapat dibiarkan terjadi” ucap ayah sambil melangkah meninggalkan kursi tempatnya duduk. Aku mencoba meraih lengan ayah, tapi berhasil ditepis olehnya.
“Ayah, tolong jelaskan, menagapa ayah langsung berubah, tolong jelaskanlah ayah!” pintaku memelas sambil terus mengikuti langkah ayah.  Sementara kulihat dirimu hanya menangis dan terlihat galau.
“Dengarkan ayah, Wanita itu takkan pernah pantas untukmu!” Ujar ayah sambil memegang leherku dengan tatapan mata yang begitu menyala. “Kau, tak perlu banyak tanya lagi, ikuti saja ayah, kita pulang sekarang” Perintah ayah padaku sambil menarik tanganku dengan keras. Aku kembali menoleh kearahmu, kulihat mata gadisku semakin memerah, wajah bahagianya beruabah mendung, karena diterpa badai elnino yang datang diluar perkiraan.  Aku sangat bingung saat itu, ayah yang tiba-tiba berubah seratus delapan derajat tanpa sebab dan musabab yang jelas. Aku tak dapat menghentikan keinginan ayah hari itu. Ia hanya berjalan dengan cepat, penuh kemarahan dengan wajah yang memerah meninggalkan rumahmu. Aku hanya bisa mengikuti keinginannya. Hanya menurutinya saat itu, sambil menatap dirimu yang tetap berdiri membatu dengan air mata yang terus berlinang. Aku merasa sangat pengecut saat itu, aku mengingkari janjiku padamu, namun akupun seolah tak punya daya menghadapi ayahku saat itu, ayah yang tak pernah membentakku, ayah yang penuh kasih sayang yang tiba-tiba berubah menjadi sangat kasar.
Kini kau kembali duduk di hadapanku, tersenyum manis seperti dulu sedangkan Ayah duduk disampingmu, menatapmu dengan penuh makna.  Namun, aku lebih memilih kenangan tentangmu daripada dirimu.  Kenangan masa olimpiade fisika, Kenangan Long distance yang kita lalui, ataupun kenangan semasa kuliah dulu. Aku sangat mencintai  kenangan tentangmu kekasihku melebihi cintaku pada dirimu saat ini.
Takdir hidup kita memang indah. Bertemu, saling mengagumi, saling jatuh cinta, saling berjanji tak terpisah satu sama lain dan berjanji segala yang indah tentang cinta. Tapi, diperhadapkan dengan kenyataan yang sulit untuk kuterima dengan ikhlas. Sungguh Indah takdirmu Tuhan. Sayangnya, Aku tak dapat menikmati keindahannya. Takdir terlalu indah untuk dijangkau oleh kapasitas kapasitor otakku.  Meskipun kekasihku telah kau dekatkan kepadaku bahkan selalu seatap denganku dan ayahku. Tapi keindahan yang kau berikan dulu sungguh tak seindah saat ini.
Kini kubuka kembali syair kecil yang menggambarkan kekagumanku padamu, puisi terakhir yang kutulis sebagai pencinta bagimu yang dicintai sang pencinta yang hatinya dipatahkan oleh sang Pencipta Cinta  yang konon katanya memiliki cinta sejati.

Masih tercium wangi rambutmu
Masih kurasakan lembut
Saat kubelai helai demi helai
Seolah kurasakan  kecupan tiap helainya

Aku pernah berkata “kusuka Mata indahmu”
Tapi kau hanya terus menatapku
Tatapan penuh kasih
Tatapan yang tak pernah kulupakan
Tatapan yang selalu kurindukan

Aku cinta dirimu
Dan kutahu
Kaupun mencintaiku

Tatapan kita
Senyuman kita
Bahasa tubuh kita
Genggamana kita
Dan dekapan kita
Semua milik kita

Kini semua milik kita
Harus kita relakan
Untuk tidak menjadi milik kita
Karena kita milik mereka

Ayahku adalah ayah kita
Ibumu adalah ibu kita
Mereka orang tua kita
Orang tua yang memisahkan kita
Orang tua yang menjebak kita
Dengan ketidakberdayaan cinta mereka
Yang melahirkan cinta terlarang diantara kita.

GEIST DER JUGEND



“Apa yang bisa aku banggakan darimu? Hahhh?” teriakan itu terdengar pas di corong telinganya. Sementara krah bajunya terasa semakin mencekik batang lehernya.
“Tagihan kartu kredit sampai sebelas juta, Tabungan hanya bersisa dua puluh ribu perak. Kau kemanakan uang itu? ayo jawab!” Teriakan itu semakin lantang, sedangkan wajah orang yang berteriak itu terlihat semakin memerah.
“Semuanya difasilitasi, kamu mengeluh bosan naik mobil, dengan alasan macetlah,inilah, itulah, kau dibelikan motor. Minta fasilitas kartu kredit dengan alasan malas bawa uang cash, kamu diberi, lalu kurang apalagi?”
“Seharusnya semua fasilitas itu bisa membuat nilaimu semakin baik tapi malah anjlok, hanya ada dua varian nilai, C dan E. Sungguh memalukan!”
       Pencaci itu tiba-tiba berjalan menuju kamarnya dan keluar dengan membawa map yang dilemparkan kearahnya
“Lihat semua ini, coba cari nilai C di transkip ini. Ayo cari!”  teriakan kembali memekik mengisi ruang rumah yang megah bak istana itu. 
“Ada?Ayo jawab!” ia merasakan kepalanya ditegadahkan dengan paksa
“Daritadi kau hanya diam dan menunduk, kau tidak mengatakan apapun. Laki-laki macam apa kau ini? Pengecut, sepatah katapun bahkan tak dapat kau lontarkan untuk menjelaskan keadaanmu” Kata – kata terakhir ini membuat matanya memerah, darahnya seakan mendidih, emosinya terbakar, sebagai laki-laki, ia merasa sangat terhina
“Iya, aku memang bodoh. Aku memang  tak secerdas ayah, tapi bukan berarti ayah bebas menghinaku seperti itu” tatapannya begitu nanar ke arah ayahnya
“Bukan Cuma ayah, yang akan menghinamu, tapi dunia, semua orang yang ada disekelilingmu akan menghina, mencemooh, dan tak menghargai dirimu, jika kau tak membuat dirimu sebagai orang yang berharga dan memang patut untuk dihargai” Ujar ayah dengan tatapan yang lebih nanar menantang tatapannya
“Hina saja aku ayah, sampai ayah puas!”
“PLAKKK, PLAKK” dua buah tamparan kini mendarat dipipinya dengan sangat keras
“ Ingat! Tamparan adalah hinaan terbesar untuk seorang laki-laki, dan hinaan yang sama akan kau rasakan dari orang lain jika kau tak membuat dirimu pantas untuk dihargai. Jangan biarkan dirimu pasrah dipanggil bodoh maka, jadi orang yang cerdas. Jangan pernah mau dihina orang maka buatlah dirimu berharga dan berguna bagi orang lain. Jangan pernah ulangi diammu seperti saat ini” kini  wajah sang ayah terpampang jelas di depan batang hidnungnya
“Jika kau merasa benar, maka bersikeraslah siapapun lawanmu. Kalaupun kau harus mati, setidaknya kau mati sebagai lelaki kesatria bukan sebagai pengecut. Dan jika kau salah, mintalah maaf dan akui kesalahanmu, beri penjelasan dan alasan dari semua kesalahanmu. Kesalahan yang harus kau tolerir hanyalah kekhilafan yang kau lakukan sebagai makhluk Tuhan yang dhoif, bukan kesalahan yang sengaja kau perbuat untuk kepentingan pribadimu. Jika kau melakukan itu, aku, ayahmu akan datang menampar dan meludahi wajahmu di depan umum”  Nasihat yang begitu panjang dan membosankan. Telinganya sudah penuh dengan nasihat-nasihat yang menurutnya merupakan penggalan skenario sinetron. Ia hanya berdiri dan meninggalkan ayahnya dengan kesal, menuju motor kesayangannya dan segera meninggalkan rumah yang lebih mirip neraka baginya. Sementara ayahnya hanya bisa menggenggam tangannya dengan wajah seolah ingin mengatakan sesuatu yang sulit ia lontarkan.
--------------------------------------------------------------------------------------------------------------
       Motor Chandra melaju ugal-ugalan di tengah jalan yang ramai oleh kendaraan. Sedangkan Rangga, sahabatnya,  terus meminta agar ia mengurangi kecepatan atau menggantikannya menyetir.
“Penakut banget sich, nyante bro, ini baru namanya hidup anak muda” ujar Chandra sambil menambah laju kendaraannya. Tiba-tiba dari kaca spion motor, terlihat dua motor patroli polisi mengejar mereka karena menerobos lampu merah.
“Wah, kita di kejar Patroli Chand” ujar Rangga
“Biasa, selebriti seperti kita memang selalu dikejar-kejar oleh fansnya, paling mereka mau minta tanda tangan dan foto bareng”  Chandra kini semakin membalap motornya. Terlihat dari arah depan ada dua motor patroli tambahan yang mengintai mereka. Chandra pun segera membelokkan motornya kearah kanan, ke arah gang sempit yang gelap, tapi motor patroli polisi tetap mengikutinya.
“Mampus dah kita, nyerah aja deh Chand”  Ujar Rangga
“Kamu mau masuk kantor polisi? Nginap di sana dan dikeroyok Napi?” Jawab Chandra mengejek
“Kita atur damai saja, kamu bawa dompet kan Chand, dompet ku ketinggalan”
“Aku memang bawa dompet tapi uang tinggal gocab plus kartu kredit, memangnya polisi mau disogok pake kartu kredit?” Chandra semakin melebarkan tawanya
“Okelah kalau gitu tancap gas” Kata Rangga.
       Ternyata karena keasyikan berbicara, Chandra jadi kehilangan kendali dan tidak melihat lagi apa yang ada dihadapannya. Motor mereka menabrak suatu tumpukan, dan terpelanting. Tapi anehnya para patroli polisi sudah tidak mengikuti mereka lagi.
-------------------------------------------------------------------------------------------------------
Tiba-tiba Chandra terbangun dari pingsannya,  ia merasakan tangan kecil masuk ke dalam saku belakang jeansnya dan mengambil sesuatu
“Mau maling kamu bocah tengik” Ujar Chandra sambil memegang tangan kecil yang telah memegang dompetnya. Namun, tiba-tiba bocah tersebut menggigit tangan Chandra.
“Awch..sialan”  Chandra memekik kesakitan sambil melepaskan genggaman tangannya dari tangan anak kecil itu. Anak itupun berlari, Chandra mencoba mengejarnya, tapi dalam hitungan detik anak itu menghilang di tengah gelapnya malam.
“Anton,... Anton,... Anton,...dimana kau, nak?”
Terdengar sayup-sayup suara wanita tua yang sangat lemah. Chandra pun mengamati asal dari suara tersebut, mencoba meyakinkan dirinya apakah suara itu memang benar-benar ada.
“Chandra...Chandra kamu dimana?” Terdengar suara Rangga memanggilnya. Konsentrasinya pun buyar.
“Aku disini “ Jawab Chandra bete
“Dimana kita? Dimana para polisi itu?”
“Kita di akhirat, polisi itu malas nyusul kita sampai ke sini” Jawab Chandra ketus
“Whatttt....akhirat, aku belum mau mati, aku belum nikah, Tuhan, Forgive me please, aku tidak salah, aku tidak melanggar aturan lalu lintas...” 
“Udah geblek, Tuhan ga bakalan ngampunin kamu, karena stock dosa kamu terlalu banyak, kamu sudah banyak ngerepotin malaikat buat nyatat dosa kamu”
“Sriusss dong Chand, kita ada dimana?”
“Cari di google earth sana, aku juga ga tahu” chandra makin bete
“Anton,... Anton,... Anton,...dimana  kau, nak?” suara itu kembali terdengar
“Kamu dengar suara itu tidak?” Tanya Chandra
“Suara apaan? Jangan nakut-nakutin dong”  Rangga jadi gemetaran
“Dengar baik-baik, ada suara ibu-ibu yang memanggil nama seseorang”
“Ahhh, jangan-jangan ini kuburan,.  Tidakkkkkk”
-----------------------------------------------------------------------------------------------------------
Seorang ibu paruh baya tergeletak tidur di atas hamparan kardus mie istant, beratapkan tenda  dari karung pupuk dan berselimutkan kertas koran. Sangat miris.
“Anton,... Anton,... Anton,...dimana kau, nak?”
Sang ibu kembali memanggil nama yang sama. Mereka mencoba mendekati ibu itu.
“Siapa yang ibu panggil?”Tanya Chandra
“Anak Saya, kalian siapa?” tanya ibu itu dengan lemas
“Saya Chandra, dan ini Rangga teman saya, memangnya anak ibu kemana?”
“Entahlah, tadi ia keluar saat mengetahui aku lapar, padahal ini sudah tengah malam” Ujar sang ibu khawatir. Chandra menjadi sangat miris melihat keadaan sang ibu.
“Ibu hidup dengan siapa selain anak ibu?” tanya  Rangga
“Tidak ada, hanya kami berdua yang tinggal di sini”
       Terdengar suara anak kecil yang lari terengah-engah menuju tenda tersebut.
“Ibu, Ibu,...” teriak anak itu dari luar tenda. Iapun tersentak kaget melihat ada dua orang bersama ibunya.
“Siapa mereka ibu?” tanya anak kecil itu. Chandra dan Ranggapun tersentak kaget melihat bahwa Anton yang dipanggil sang Ibu sejak tadi adalah anak kecil yang berumur sekitar sepuluh tahun.
“Entahlah nak, kau dari mana saja?”kata sang ibu
“Aku baru saja membeli makanan untuk ibu, ini bu makanannya” Anak itupun mengeluarkan sebungkus nasi uduk dan sebotol air mineral dari kantong plastik yang dibawanya.
“Darimana kau mendapatkan uang nak, kamu tidak mencuri kan? Ibu tidak mau makan makanan hasil curian.”  Ujar sang ibu sambil menatap wajah anaknya. Tak terasa ternyata air mata kedua pemuda tersebut menetes.
“Keluarga yang luar biasa” kata Chandra dalam hati
“Tidak bu, aku ngamen di jalan ibu, kemudian ada bapak-bapak dermawan  memberiku uang lima puluh ribu” kata Anton polos
“Baguslah kalau begitu nak, mari kita makan sama-sama, setelah itu tidurlah karena kau harus bersekolah besok” Nasihat itupun keluar dari bibir ibu yang penuh kasih sayang. Chandra langsung terbayang wajah ibunya. Yang selalu menyayanginya dan selalu menasihatinya. Kini ia hanya bisa rindu dan rindu. Hanya fotolah yang menjadi pengobat rindu itu.
“Nak, mari makan” Ujar sang ibu menawari mereka makan.
“Tidak  bu, kami kenyang, silakan makan” jawab Rangga.
Malam itu mereka berdua sangat terenyuh melihat kasih sayang seorang ibu dan perjuangan seorang anak kecil untuk menghidupi ibunya atas nama kasih sayang. Sungguh mereka hidup dalam surga kebahagiaan.
----------------------------------------------------------------------------------------------------------
Matahari pagi menyilaukan mata mereka. Chandra pun membuka mata dan melihat alam di sekelilingnya, ternyata tadi malam ia menabrak tumpukan sampah di tempat pembuangan akhir. Kumuh, bau, dan menyengat. Iapun mengambil dan mendirikan motornya, sambil kembali melihat daerah sekelilingnya. Ternyata begitu banyak tenda di sana, begitu banyak keluarga yang hidup di sana. Sungguh miris kehidupan mereka.
“Bu, anton berangkat sekolah ya, Assalamu Alaikum”
Terdengar suara si kecil anton berjalan riang mengenakan seragam sekolah putih merah yang  lusuh, kucel dan terlihat kecoklatan. Senyum kecilnya, di sambut dengan senyum kasih sayang sang ibu yang penuh kasih sayang melepas buah hatinya berangkat ke sekolah.
“Aku iri melihat mereka” Ujar Rangga memecah keheningan
“Iya, aku juga, mereka memiliki kebahagiaan yang tidak aku miliki”
“Itulah adilnya Tuhan, kalau semuanya diberikan pada kau, bisa-bisa kau jadi sombong dan kufur nikmat”  Rangga mendorong kepala temannya
Merekapun menghampiri tenda ibu Anton. Sekedar berbagi cerita tentang kehidupannya yang pahit ditinggal mati suaminya. Bagaimana ia terserang lumpuh sehingga tak mampu berjalan lagi, dan bagaimana ia hidup dengan menggantungkan diri pada anaknya yang baru berusia sepuluh tahun.
“Awal terserang lumpuh, aku merasa ingin mati saja. Aku hidup hanya menjadi beban bagi anakku, dan tak mampu berbuat apa-apa. Suatu malam, aku berencana untuk bunuh diri, pisau sudah ditanganku, tapi, tiba-tiba aku teringat wajah anakku yang polos, lucu, dan tak berdosa itu. Ia tak pernah merasakan kasih sayang ayahnya, mana mungkin aku akan membiarkannya kehilangan kasih sayang ibunya. Rasanya aku terlalu egois jika aku harus segera mengakhiri hidup dengan alasan pribadiku. Jadi, kuputuskan untuk tetap hidup, untuk memberinya kasih sayang, meskipun kasih sayang itu hanya berupa senyum, kecupan didahinya, belaian pada rambutnya, atau sekedar nasihat kekhawatiran. Setidaknya, dengan masih hidupnya aku, aku masih bisa melihat dia berangkat ke sekolah dan menjawab salam kecilnya. Semua itu, sudah cukup untuk menjadi alasan bagiku untuk bertahan hidup”
Kedua anak muda itu hanya bisa terenyuh mendengarkan cerita ibu paruh baya itu. Sungguh tegar ibu ini. Sungguh rasa cintanya mampu membuat dia hidup. Namun, Chandra tak ingin berlama-lama ditempat itu. Ia hanya merasa semakin lemah setiap kali melihat ketegaran sang ibu. Ia segera berpamitan dan bersalaman dengan ibu paruh baya itu.
Mereka berdua baru saja meninggalkan gang sempit dan kotor itu, mereka baru saja melihat kendaraan berhenti karena lampu merah menyala, dihampiri  oleh anak kecil yang membawa kaleng susu kecil untuk meminta belas kasih para pengendara.
“Rangga, lihat anak itu” Ujar Chandra sambil menunjuk ke arah anak yang memegang dompet yang sangat dikenalnya
“Ya, anak itu memegang dompetmu kan?” Jawab Rangga,
“Dasar maling tengik”  Chandra pun memarkir motornya dan segera menghampiri anak itu.
“Mau kemana kau maling kecil” Ujar Chandra sambil menarik kerah baju anak kecil tersebut dari arah belakang
“Ampun ka Chandra, Ampun ka”  Anak kecil itu ternyata tahu nama Chandra
“Anton, jadi kamu yang mencuri dompetku tadi malam?” Chandra heran
“Iya kak, maaf kak, aku membelanjakan uang ka Chandra untuk makan ibu tadi malam”  Anton memelas
“Jadi kamu bohong pada ibumu tentang bapak-bapak dermawan yang memberimu uang lima puluh ribu?” tanya Chandra penuh selidik
“Iya kak, Karena kalau aku bilang uang itu uang hasil curian, ibu pasti tidak mau makan makanan yang kubeli semalam, padahal dari siang ibu belum makan” air mata kini menetes dari sudut mata Anton. Chandra kini semakin terenyuh. betapa mewah hidupnya selama ini, betapa ia lupa bersyukur, betapa ia buta akan keadaan sekelilingnya yang tak seberuntung keadaan dirinya.
“Kamu tidak ke sekolah?” Tanya Chandra penuh selidik
“Tidak kak, semenjak ibu lumpuh aku tidak pernah lagi ke sekolah” Jawab Anton polos.
“Jadi, selama ini  kamu berbohong pada ibumu?” Bentak Chandra sambil menatap tajam mata anak itu.
“Sob, Jangan terlalu polos memandang persoalan. Kalau dia sekolah, lalu siapa yang cari makan untuk ibunya. Dia harus bekerja. Berbeda dengan kita yang tinggal minta fasilitas dari orang tua, dan semua yang kita inginkan, ada dihadapan kita. Dia harus ngamen kiri-kanan, ngemis, minta belas kasih orang yang tidak ia kenal, bermain dengan maut, hanya untuk membeli sebungkus nasi untuk ibunya. Bahkan ia harus mencuri dan membohongi ibunya sendiri untuk menghadirkan makanan yang tidak pernah turun dari langit” Rangga memegang bahu sahabatnya, sambil menatap matanya yang memerah.
“Kamu mau sekolah, Anton?” Tanya Chandra sambil memeluk kepala anak itu
“Iya kak, aku mau jadi polisi seperti bapak polisi yang selalu mengejarku itu” kata Anton polos sambil menunjuk kearah polantas yang berbadan tambun
“ Baiklah, mulai besok kau kembali ke sekolah, kejarlah cita-citamu”  Air mata Chandra kini tak bisa terbendung lagi
“Tapi kak, Bagaimana dengan ....” Belum selesai Anton berbicara Rangga langsung memotong pembicaraannya
“Jangan khawatir urusan ibumu, biaya sekolah, dan buku-bukumu. Kami akan menanggungnya” Kata Rangga mantap.
“Benar kak, aku bisa sekolah lagi?” Tanya Anton seolah tak percaya. Chandra dan Rangga pun mengganggukkan kepalanya sambil tersenyum bahagia
--------------------------------------------------------------------------------------------------------
“Diskusi pelataran tentang kemiskinan, siapa pematerinya?” Tanya seorang mahasiswa
“Achmad Chandra Arselan,” Jawab yang lain
“Nggak salah tuch, mana tahu ia tentang kemiskinan, Anak konglomerat kaya yang tahunya Cuma dugem dan disco, angkat bicara tentang kemiskinan” Ejek mahasiswa yang lainnya
“Tapi nggak ada salahnya kan kalau kita mendengarkan pemaparannya, siapa tahu ia mau mengangkat tema kemiskinan di pub malam dan diskotik” Celoteh mahasiswa lainnya
“hahahahhaha” Mahasiswa lainnya terdengar menertawakan. Mereka tidak menyadari kalau Chandra duduk di balkon lantai 2 kampus tepat di atas mereka.
       Ada puluhan mahasiswa yang berkumpul pagi itu, tepat pukul sepuluh pagi. Diantara mereka ada yang betul-betul penasaran dengan pemaparan Chandra, tapi tak sedikit diantara mereka yang datang hanya untuk mengejek Chandra.
       Diskusi pun dibuka oleh moderator yang difasilitasi senat mahasiswa. Kesempatan untuk memaparkan materi akhirnya tiba. Chandra  terlihat bersemangat mengambil mic dan mengeluarkan album foto dari tasnya.
“Terima kasih atas kesempatan yang diberikan kepada saya, dan terima kasih pula atas kesediaan teman-teman sekalian untuk meluangkan waktu sekedar mendengarkan share dari saya. Teman-teman, saya bukanlah orang yang mengerti tentang teori kemiskinan di zaman reinasance ataupun di zaman penjajahan Jepang. “ Ujar Chandra mencoba menarik perhatian teman-temannya
“Jelaslah, kamu kan belum lahir di zaman itu” ejek salah seorang mahasiswa
“huhhh” ejek sekelompok mahasiswa lainnya
“Tenang-tenang, mari kita biarkan saudara Chandra melanjutkan materinya, kami akan menyediakan sesi tanya jawab buat teman-teman yang betul-betul ingin bertanya” Ujar moderator menenangkan.
“Iya saya sangat sepakat dengan komentar saudara kita tadi. Sangatlah wajar jika kita tidak mengerti mengenai kemiskinan di zaman reinasance atau perbudakan di zaman penjajahan Jepang karena kita tidak hidup di zaman itu. Tapi yang sangat tidak wajar adalah apabila kemiskinan itu terjadi di zaman kita, dan di lingkungan sekitar kita padahal kita tidak mengetahuinya. .........” Chandra terlihat begitu bersemangat membawakan materinya sambil memperlihatkan beberapa lembar foto hasil kutipannya tentang kehidupan anak jalanan di sekitar rumah Anton.
“Anda sendiri, sudah melakukan apa untuk membantu anak-anak jalanan tersebut ?” tanya seorang mahasiswa dengan nada ketus
“Saya belum bisa berbuat banyak.....”
“Huhhhh....dasar ONDO... Omong Doang” belum selesai Chandra berbicara teriakan itu kembali menghujaninya. Moderator pun kembali menenangkan.
“Teman-teman saya belum bisa berbuat banyak, saya baru bisa kembali menyekolahkan seorang anak kecil berumur sepuluh tahun, yang selama ini harus meninggalkan bangku sekolah karena harus mencari makan untuk ibunya yang lumpuh setelah ditinggal mati ayahnya. Biaya sekolah anak tersebut berasal dari penjualan motor kesayangan saya. Saya sadar, kemampuan saya sangat terbatas, jadi melalui kesempatan ini, saya bermaksud mengajak teman-teman  untuk turut  berpartisipasi dalam mengentaskan kemiskinan di zaman, lingkungan, dan di depan mata kita “  Jelas Chandra berapi-api dan disambut dengan tepukan tangan dari sebagian besar yang hadir di tempat itu.
“Memangnya semua mahasiswa berkemampuan sama seperti kamu, yang minimal punya motor untuk dijual. Bagaimana dengan kami yang ke kampus setiap hari naik angkot? Kami bisa bantu apa?” Tanya seorang mahasiswa di tengah gemuruh suara tepuk tangan
“Banyak hal yang bisa teman-teman sumbangkan. Bukan Cuma uang semata. Pakaian bekas layak pakai, buku-buku bekas layak pakai, ide,dan tenaga teman-teman sekalian pun sangat berguna bagi mereka. Apalagi kami merencanakan akan membuat rumah tinggal sementara yang lebih bersih dan layak bagi mereka. Selain itu, kami juga akan membuat pelatihan keterampilan bagi mereka, seperti menyulam, membuat kerajinan tangan, atau sekedar mengajari mereka baca tulis. Tentunya tenaga teman-teman sangat kami perlukan “
“Kapan kami bisa mulai bergabung dengan kamu?” tanya Dylan, Ketua himpunan yang terkenal kritis dan idealis.
“Siang nanti, Ba’da dzuhur, kita akan segera ke lokasi” Jawab Chandra semangat
“Bagi teman-teman yang ingin berpartisipasi silakan unjuk tangan dan bergeser ke kanan” Komando Rangga mulai angkat bicara. Tanpa diduga ternyata hanya lima orang mahasiswa yang menyatakan menolak untuk bergabung, sementara yang lainnya dengan suka cita menyatakan diri untuk bergabung. Chandra begitu terharu, ia sangat bahagia.
---------------------------------------------------------------------------------------------------------
“Kita harus lebih mengorganisir mereka, karena saya berharap kegiatan ini tidak hanya berhenti di sini. Kalau perlu, kita sekolahkan anak-anak itu hingga kuliah seperti kita sekarang ini”  Chandra terlihat begitu antusias di sela-sela istirahatnya setelah membangun rumah sementara yang layak huni di wilayah kumuh itu.
“Benar sob, tanpa dukungan dana yang kuat, yakinlah kegiatan kita ini paling banter bertahan dua bulan” Tegas Rangga. Sambil mulai terlihat berfikir
“Kita harus mencari donatur agar kita bisa membuka usaha buat mereka, agar mereka bisa mandiri, dan tidak mengemis lagi” Lanjut Rangga
“Iya sepakat, bukan donatur tetap. Jangan sampai para orang dewasa yang masih mampu bekerja  malah bermalas-malasan karena mengharapkan uluran tangan para donatur. Jadi kita akan memfasilitasi mereka pancing bukan memberi ikan pepes”  Chandra terlihat semakin yakin. Ia lalu beranjak dari tempat duduknya dan segera membagi teman-temannya ke dalam beberapa team untuk mencari para donatur. Dylan mengajukan diri untuk membuat proposal. Sedangkan yang lain berfikir dan mencari target perusahaan atau apa saja yang bisa memberi mereka sokongan dana.
“Apa nama perkumpulan kita ini?” Tanya Dylan sambil tetap mengetik
“Untuk apa nama itu Lan?” Tanya Yodi yang merupakan ketua Senat.
“Tentunya kita memerlukan sebuah nama di proposal ini” Jawab Dylan sambil tersenyum.
“Bagaimana dengan Perkumpulan Anak Bangsa?” Usul Rangga
“Janganlah Ga, nama itu sudah terlalu pasaran” Sela Amhy tak setuju.
“Bagaimana dengan Perkumpulan Harapan Madani?” Saran Sarah.
“Waduh, Bukannya harapan Madani itu nama Koperasi Simpan Pinjam samping rumahmu, Sar?” Sela Ardi mengejek
“Hahahaha” Semua yang ada di tempat itu jadi tertawa mendengar celoteh Ardi
“Geist der Jugend” Tukas Chandra.
“Hah? Bahasa apa itu?” tanya teman-temannya dengan heran
“Geist der Jugend berasal dari Bahasa Jerman yang artinya Semangat Anak Muda. Aku ingin semangat anak muda yang tak pernah lelah, selalu optimis, dan pemberani selalu mewarnai langkah kita ke depan dalam menyukseskan keinginan kita untuk memberikan mereka kehidupan yang lebih layak” Jelas Chandra bersemangat.
“Wah, ternyata kau cerdas juga sob, kupikir kamu Cuma mengerti disko dan pub malam, ternyata kau tahu bahasa Jerman juga. Seandainya kau secerdas ini dari dulu kau tidak perlu mengoleksi rantai karbon (nilai C) di rapormu”  Ujar Rangga yang spontan kembali mengundang gelak tawa para mahasiswa yang ada di situ.
--------------------------------------------------------------------------------------------------------
       Tak terasa enam bulan telah berlalu. Kini wilayah kumuh yang tadinya berisikan tenda-tenda yang terbuat dari karung bekas dan beralaskan kardus mie instan, kini telah berubah menjadi bangunan yang terbuat dari papan dan beratapkan seng. Setidaknya bangunan yang sekarang jauh lebih layak untuk dihuni. Kini Chandra berjalan menyusuri pinggiran jalan. Tak ada lagi anak kecil yang mengemis ataupun pengamen yang mengganggu lalu lintas di tempat itu. Yang ada kini ialah “ Wartegkop Ngamen Geist der Jugend”, tempat dimana para pengguna jalan bisa singgah ngopi atau makan sambil mendengarkan hiburan dari para mantan pengamen tanpa harus memberi fee. Chandra tetap menempatkan beberapa orang temannya, untuk mendampingi para ibu-ibu dalam memasak dan menyajikan makanan secara higienis. Sekarang Chandra berfikir untuk membangun “kios Geist der Jugend Ngemil” disebelah “ Wartegkop Ngamen Geist der Jugend” yang menjual berbagai cemilan-cemilan kecil, tapi sayangnya dana yang mereka miliki belum cukup. Ia terus berjalan sambil berpikir. Tapi ia tiba-tiba kaget ketika melihat sosok lelaki paruh baya tengah duduk sambil ngopi di warteg itu.
“Ayah,...itukan ayah...” Ujarnya membatin
“Sedang apa ayah di sini? Bukannya dia masuk kantor?” kepalanya penuh tanda tanya. Tapi ia memutuskan untuk tidak mengahqmpiri ayahnya. Semenjak kejadian hari itu, ia memang belum pernah bertegur sapa dengan ayahnya.
“Sob, jangan ke warteg dulu, bokap kamu lagi nongkrong di sana” ujar Rangga sambil memukul pundaknya dari arah belakang. Sentak perbuatan Rangga itu membuat ia kaget dan membuyarkan lamunannya.
“Kamu mau bunuh aku , ya?” Ujar Chandra
“Sssttt...Ke sini aja dulu” Rangga menarik Chandra ke samping warteg. Chandra pun hanya ikut dengan pasrah
“Aku punya berita bagus, aku dapat lagi uang donasi buat modal kios Geist der Jugend Ngemil” Ujar Rangga sambil mengeluarkan amplop tebal dari tasnya.
“Serius kamu Rangga? Dapat uang darimana kamu?” Tanya Chandra penasaran
“Donaturku menyumbang lagi. Ia tertarik dengan rencana kita untuk membangun kios dan toko buah” Jawab Rangga sambil tersenyum
“Alhamdulillah Rabbil Alamin. Terima Kasih Ya Allah. Ya Allah murahkanlah rezeki dermawan yang setiap bulan mau membantu kami Ya Allah, Amin” Ujar Chandra dengan penuh rasa syukur. Tak lama setelah itu mobil ayah Chandra pun telah terdengar meninggalkan warteg. Chandra dan Rangga segera keluar menemui teman-teman mereka dan ibu-ibu di warteg. Ia segera mengabarkan berita gembira tersebut. Semua menyambut berita gembira tersebut dengan suka cita, bahkan ibu-ibu penjaga warteg segera sujud syukur sambil berlinangan air mata dan berucap terima kasih kepada Chandra.
“Terima kasih Nak Chandra, kalau bukan karena bantuan nak Chandra dan teman-teman
, kami tentunya masih hidup pontang-panting, akrab dengan penyakit dan anak-anak kami tidak akan punya masa depan. Tapi, sekarang setidaknya anak kami sudah bisa bersekolah dan mengejar cita-cita mereka, terima kasih nak, terima kasih” ujar seorang ibu sambil mendekap Chandra dengan erat. Chandra pun merasa sangat bersyukur karena ternyata usahanya memberi pengaruh pada orang-orang lemah ini. Tiba-tiba handphone Chandra berbunyi. Ia pun segera mengambil handphone tersebut dari sakunya.
“Nomor pribadi,...siapa ya?” Tanya Chandra dalam hati
“Assalamu Alaikum”  Kata Chandra
“Waalaikum Salam, betul dengan saudara Chandra?” Ujar orang yang suaranya masih sangat asing dari ujung telpon.
“Iya betul, maaf dengan siapa saya bicara?” Tanya Chandra sopan
“Saudara Chandra sudah baca koran pagi ini?” Tanya orang asing itu. Chandra semakin penasaran
“Belum, tapi maaf ini siapa?” Tanya Chandra penuh selidik
“Baca sajalah koran pagi ini, setelah itu temui saya di kantor, alamatnya akan saya kirim via sms, Assalamu Alaikum” Kata orang asing itu mengakhiri pembicaraan.
“Halo, halo, halo....” Chandra mencoba mencegah orang asing tersebut dari menutup telpon tapi ternyata  hasilnya nihil. Ia merasa sangat penasaran siapa orang asing itu, dan dari mana orang asing tersebut mendapatkan nomor handphonenya.
“Ka Chandra, Ka Chandra,...Kakak masuk koran loh...” Teriak si kecil Anton sambil berlari
“Coba ka Chandra lihat korannya” Ujar Chandra sambil mengambil koran dari tangan kecil Anton. Dadanya terasa berdebar kencang.
“Geist der Jugend yang menginspirasi” itulah judul headline dari berita yang menampilkan fotonya.
------------
“Selamat Datang, Geist der Jugend yang menginspirasi” ujar sosok seorang bapak yang kira-kira seumuran dengan ayahnya
“Terima kasih pak, Maaf pak, kalau boleh tahu apa maksud bapak memuat berita tentang saya di media massa pak?” Tanya Chandra to the point.
“Benar-benar Geist der Jugend, langsung ke titik persoalan, tapi bukankah kita lebih baik berkenalan dulu?” Bapak paruh baya itu mencoba mengendalikan suasana.
“Bapak telah mengenal saya, dan saya sekarang ini sudah cukup mengenal bapak, jadi mungkin lebih baik kalau kita langsung ke inti permasalahan” jawab Chandra tegas.
“Baiklah anak muda. Aku tertarik dengan ketenaranmu sekarang. Dan untuk itu, aku siap membantu semua kebutuhan dana untuk menjalankan program sosialmu, asalkan....”
“Asalkan aku mau meminta para anak jalanan dan pengemis malang itu, untuk memilih Anda sebagai walikota saat pilkada nanti. Sekaligus menyampaikan ke semua media tentang betapa dermawannya Anda, sehingga masyarakat menjadi tersentuh dan berbondong-bondong memilih Anda, begitu?” Ujar Chandra memotong pembicaraan bapak itu dengan tegas.
“Betul, Geist der Jugend, kau memang briliant, dan aku yakin kau tak akan melewatkan kesempatan ini. This is a fair barter, right?” Ujar Bapak itu dengan nada mencoba meyakinkan.
“Jika Bapak menginginkan terjadi hal yang betul-betul fair dalam hal ini, menyumbanglah dengan ikhlas dari hati nurani tanpa berharap dipilih dalam pemilihan nanti dan biarkanlah mereka memilih calon pemimpin dengan pilihan hati nurani mereka. Itulah hal yang paling fair menurut saya, dimana setiap orang berbuat atas dasar panggilan hati nurani mereka, bukan karena keserakahan pribadi, ataupun karena keterpaksaan” Ujar Chandra dengan kesal. Wajahnya kini memerah
“Anak muda, saya hargai sifat idealismu, tapi yakinlah kau akan menelan ludah setelah kau tahu siapa yang akan menjadi lawanmu!” Bapak paruh baya itu kini kembali mengancam
“Jika kau merasa benar, maka bersikeraslah siapapun lawanmu. Kalaupun kau harus mati, setidaknya kau mati sebagai lelaki kesatria bukan sebagai pengecut” Ucapan itu secara otomatis keluar dari mulutnya tanpa ia sadari.
“Menurut saya tak ada lagi yang perlu kita bicarakan, Pak Husein Budiatmo, selamat siang” Ia kini melangkah dengan cepat meninggalkan gedung partai itu. Ia teramat kesal dan tetap bangga pada dirinya, ia mampu mengelak dari tawaran busuk politisi itu. Iapun bingung dari mana ia mengambil kata-kata terakhir yang secara spontan keluar dari mulutnya. Tapi segera melupakan semua itu, dan mengarahkan sepeda motor pinjamannya ke arah kampus.
“Dasar politisi sialan” Cerca Chandra sambil melempar tasnya ke lantai ruang himpunan mahasiswa
“Ada apa Chan, tenang sob, nyantai” Ujar Rangga mencoba menenangkan
“Masa aku ditawari sumbangan oleh salah seorang calon walikota, dengan syarat harus meminta para dhuafa kita untuk memilih dia, edan!” Ujar Chandra emosi
“Iya betul-betul edan, emangnya siapa orang itu?” Tanya Dylan penasaran
“Ngga usah aku sebutkan namanya, nanti jadi dosa lagi buat kita, lupakan saja”  Jawab Rangga mengelak
“ Waduh, Chandra, kau seperti baru mengenalku seminggu, atau sebulan, kita berteman dari zaman ingusan, sampai jenggotan seperti sekarang, dan kau masih main rahasia-rahasiaan denganku. kita ingin tahu Cuma buat jaga-jaga doang, jangan sampai kita yang ditawarin, ya ga Lan?” ujar Rangga minta dukungan
“Okay, Dia adalah Bapak Husein Budiatmo, tapi ingat cukup kita bertiga saja yang tahu masalah ini”  Tegas Chandra. Teman-temannya pun mengangguk tanda setuju.
“Eh kamu sudah belajar belum? Lusa ujiannya Prof. Gary loh. Kalau ujian ini tidak lulus, kamu tidak bisa skripsi semester depan” Jelas Dylan mengingatkan Chandra
“Iya bro, aku hampir lupa kalau lusa ada ujian” Jawab Chandra loyo
“Kamu fokus sama ujian dua hari ini, urusan Geist der Jugend serahkan saja padaku dan Rangga, Okay” Nasehat Dylan sambil mengacungkan jempol ke arah Rangga
“Thanks banget sob, aku beruntung sekali punya teman seperti kalian. Tapi, Rangga jangan lupa ya, rencana membangun kios cemilan dan toko buah harus dimulai besok, jangan ditunda lagi, supaya donaturmu itu makin rajin nyumbang, okay ” kini giliran Chandra mengacungkan jempol ke arah Rangga.
“Siiip Bos” Rangga menanggapi sambil tersenyum.
--------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Selamat ujian ka Chandra, semoga ujiannya lancar. Main ke warteg ya ka, kalau ujiannya sudah selesai,  Anton.
Chandra hanya bisa tersenyum bahagia melihat sms itu sebelum memasuki ruang ujian. Setidaknya ada seorang anak kecil yang menganggap kehadirannya begitu berharga.
“Hai sob, semangat. Selamat Ujian. Jangan nyontek ya!” Ujar Rangga memberi semangat untuknya dari luar ruangan. Rangga memang telah lulus mata kuliah tersebut dua semeter yang lalu.
Soal ujian pun dibagikan, pengawas mulai berjalan kiri kanan mengawasi para mahasiswa.
“Alhamdulillah, soalnya lumayan mudah” Ujar Chandra dalam hati. Ia begitu bersemangat dalam mengerjakan soal ujian itu. Waktu sejampun telah berlalu tanpa terasa dan ia telah mampu mengerjakan setengah dari soal ujiannya.
“Chandra, apa kau berita menghebohkan pagi ini?” Ujar Prof Gary pas di telinga Chandra yang tiba-tiba memecah konsentrasinya
“Tidak Prof, berita apa Prof?” Tanya Chandra.
“Kau lihatlah sendiri” Ujar Prof Gary sambil menunjukan HP TV nya kepada Chandra. Chandra amat tersentak saat melihat berita tersebut.
“Tidak mungkin prof!” Ujar Chandra tidak percaya pada apa yang dilihatnya.
“Sorry, I didn’t say it, but The news did, based on Dylan’s statement. So kamu harus percaya”  Ujar Prof Gary sambil memegang pundak Chandra.
“Pilihan kamu sekarang hanya ada dua Chandra, kamu tetap duduk di sini menyelesaikan ujian dan membiarkan Husein Budiatmo meracuni pikiran kaum dhuafa asuhanmu, atau kau meninggalkan ruangan ini dan membatalkan rencana calon walikota itu. Atau mungkin statement Dylan benar adanya bahwa donatur terbesar Geist der Jugend adalah Bapak Husein Budiatmo?” Jelas prof. Gary dengan santai.
“Tentu tidak Prof, aku sendiri yang menolak tawarannya, semua yang dikatakan Dylan bohong adanya” Sanggah Chandra dengan tegas.
“It’s useless for you explaining everything to me. Saya tidak butuh penjelasanmu, medialah yang membutuhkannya. So, will you still sit here?”
       Chandra merasa sangat emosi dan langsung meninggalkan meja ujian, ia menampar Rangga di depan pintu kemudian mengambil kunci motor Rangga dan mengajaknya dengan paksa  ke daerah pemukiman Geist der Jugend
“Hei, kau kenapa? ada apa?” Tanya Rangga bingung
“Kau mengkhianati aku, mengkhianati Geist der Jugend dan persahabatan kita” Jawab Chandra sambil membalap motornya
“Berbicaralah dengan jelas, aku tidak mengerti maksudmu!” Ujar Rangga bingung
“Diam kau pengecut, Ternyata selama ini kau bekerja sama dengan Dylan. Donatur pahlawanmu itu adalah Husein Budiatmo, yang selalu memberikan sumbangannya padamu setiap kita butuh uang, Cuihhh” Chandra meludah tanda penghinaannya terhadap Rangga
“Jangan asal ngomong bung, mana mungkin  saya mau menerima sumbangan dari orang seperti dia” Rangga jadi emosi dan membantah sahabatnya
“Simpan alasanmu itu, jelaskan saja di depan publik. Aku tidak mau disebut menjual Geist der Jugend” Chandra terus membalap motor Rangga dengan hati yang panas.
       Setibanya di lokasi Geist der Jugend, Chandra melihat banyak kerumunan orang dan wartawan dari berbagai media. Ia lalu menghampiri Yody yang berdiri di barisan belakang
“Siapa yang mengumpulkan mereka? Hah, jawab!”  Bentak Chandra pada Dody.
“Hei Chandra, Bukannya kau yang meminta Dylan untuk mengumpulkan mereka, dan memberi izin pada bapak Husein Budiatmo untuk berkampanye disini” Jawab Dody Tegas
“Dylan keparat” Chandra semakin emosi. Ia menerobos kerumunan orang banyak ditengah teriknya mentari pagi. Ia melihat Dylan baru saja memperkenalkan Husein Budiatmo sebagai donatur terbesar Geist der Jugend.
“Bohong, semua itu bohong. Dylan telah dibeli oleh calon walikota kita yang terhormat ini” Teriak Chandra membuat semua yang hadir di tempat itu menjadi terdiam dan memusatkan perhatian kepadanya.
“Saudara Achmad Chandra Arselan, selamat datang” ujar Husein Budiatmo dengan tenang namun penuh dengan ejekan.
“Para Geist der Jugend, saya hanya akan berkata pada kalian, dia bukanlah doanatur kita, semua yang dikatakan oleh teman saya Dylan adalah kebohongan dan janganlah kalian memilih seorang pemimpin karena hanya sekedar diiming-imingi sesuatu. Karena pemimpin yang mendekati kalian pada saat ia ingin dipilih adalah pemimpin yang berpikir akan balik modal dan mengejar keuntungan saat terpilihnya nanti, lalu kapan ia akan memikirkan kesejahteraan kalian”  tegas Chandra.
“Selamat datang calon wakil walikota. Tuan Alwy Arselan” Ujar Bapak Husein Budiatmo melalui mic di tengah-tengah pidato Chandra yang bergemuruh. Melihat sosok lelaki paruh baya yang turun dari mobil yang sangat dikenalnya, Chandra menjadi kaku, shock dan tak bisa berkata apa-apa.
“Ayah...Ayah adalah calon wakil Husein Budiatmo” Chandra membatin. Ia kembali mengarahkan pandangan ke arah ayahnya yang sekarang berjalan menuju arahnya. Ia kembali tertunduk tak tahu wajahnya mau dikemanakan, ia merasa malu pada dirinya sendiri.  Ternyata ayahnya sendiri berdiri mendukung politisi busuk yang sedang dicercanya.
“Hai Geist der Jugend, mengapa kau diam? Mengapa kau tiba-tiba kehilangan suara?” Terdengar suara seorang laki-laki yang sangat ia kenal. Tapi Chandra tetap diam tak mampu berkata apa-apa.
“ Kamu seorang laki-laki bukan? Apakah perlu aku menamparmu supaya kau melanjutkan pembicaraanmu?” Pertnyaan itu membangkitkan keyakinannya “Jika kau merasa benar, maka bersikeraslah siapapun lawanmu. Kalaupun kau harus mati, setidaknya kau mati sebagai lelaki kesatria bukan sebagai pengecut” kata-kata itu kembali hadir dalam memorinya. Iapun kembali tegar dan berani mengangkat kepalanya
“Teman-teman yang hadir disini, Jangan pernah kalian memilih calon pemimpin yang mau membeli hak pilih kalian dengan sumbangan. Calon pemimpin yang menghalalkan segala cara untuk menang termasuk memanfaatkan kemiskinan kalian” Tegas Chandra dengan mata yang berbinar-binar dengan suara yang bergemuruh. Sorakan dan tepuk tanganpun terdengar di mana-mana.
“Siapapun mereka, termasuk pasangan Husein Budiatmo dan Tuan Alwy Arselan” Kini ia mengarahkan pandangan matanya ke arah pasangan calon walikota dan wakil walikota tersebut kemudian pergi meninggalkan kerumunan orang banyak. Sementara riuh tepuk tangan masih terus bergemuruh tanda apresiasi untuknya.
“Plak” tiba-tiba sebuah tamparan mendarat di wajahnya.
“Dasar bodoh, Puas kamu, puas, sudah menjadi pahlawan dan mempermalukan ayahmu sendiri” Teriak Rangga di depan wajahnya
“Ia pantas untuk itu” jawab Chandra tegas
“Bodoh, betul-betul Bodoh”.........
----------------------------------------------------------------------------------------------------------
“Hei anak muda, kenapa kau diam, bicaralah!” suara itu kembali terdengar, mengagetkan dirinya yang hanya bisa tertunduk. Entah mengapa ia tidak mempunyai keberanian untuk menatap wajah itu.
“Apakah kau ingin lari dari tanggung jawab dan terus dihina orang, ataukah mungkin kau baru saja melakukan kesalahan untuk mewujudkan kepentingan pribadimu dan mengorbankan orang banyak?” Suara itu kembali melontarkan pertanyaan-pertanyaan yang kini sangat dinikmatinya namun juga membuatnya merasa bersalah.
“Ayah, maafkan Chandra, Chandra telah salah menilai ayah?” Tangisnya kini terbendung lagi. Ia merapatkan pelukannya ke tubuh ayahnya
“hei, Geist der Jugend, kau tidak salah, kau telah melakukan hal yang luar biasa” Jawab ayahnya sambil memeluknya erat
“Tidak ayah, Rangga telah menceritakan semuanya, Ayah menjadi donatur tetap Geist der Jugend namun Ayah meminta agar Rangga tetap  merahasiakan identitas ayah” Chandra meluapkan segala yang mengganjal dihatinya. Sedangkan ayahnya masih tetap membelai rambutnya.
“Ayah maafkan Chandra, Chandra telah menghancurkan reputasi ayah di depan umum. Chandra tidak tahu kalau ayah dijebak untuk hadir dalam kampanye tersebut, dengan mengatasnamakan aku yang kecelakaan di lokasi Geist der Jugend” tangis Chandra semakin menjadi, ia mengakui segala kesalahannya satu demi satu.
“Reputasi apalagi yang ayah dambakan jika ayah memiliki anak yang idealis sepertimu nak, cukuplah bagi ayah, melihatmu berdiri tegak menyuarakan sesuatu yang menurutmu benar. Hal itu jauh lebih berharga dari sekedar reputasi” Air mata kini mengalir dari sudut mata ayah Chandra
“Nak, sebenarnya di hari ayah menampar, ayah sangat ingin memelukmu seperti sekarang ini. Tapi ayah harus menahannya karena Ayah ingin kau membalas pelukan ayah dengan penuh cinta kasih seperti sekarang anakku. Setiap hari ayah datang menghampiri wilayah Geist der Jugend, hanya untuk sekedar memupuk kebanggaanku sebagai orang tua dari pemuda pelopor Geist der Jugend. Anakku setiap saat kau tiba di rumah dan hanya diam, sebenarnya hal itu sangat menyiksa ayah, ingin rasanya ayah memelukmu dan memohon maaf karena kekasaran sikap ayah padamu, tapi itu tidak ayah lakukan karena ayah yakin saat yang tepat itu akan datang anakku” Sang ayah memeluk tubuh Chandra dengan erat seolah sangat rindu pada anak yang telah lama tak bercengkrama dengannya.
“Anakku, jujur ayah akui, ayah sudah ingin melangkah merangku bahumu saat kau melarang kaum dhuafa untuk memilih ayah, ayah ingin menunjukkan pada mereka, betapa banggannya ayah memiliki putra sepertimu nak, tapi ayah tak ingin kau malu di depan umum, jadi ayah pendam hasrat itu. Tapi sekarang izinkanlah ayah untuk melakukannya nak, izinkanlah ayah berkata bangga padamu, ayah bangga menjadi orang tua, dan izinkanlah ayah terus menyayangimu wahai anakku” Air mata ayah dan anak itu tumpah ruah. Mereka saling mengakui kesalahan dan kebanggaan hingga kelegaan itu hadir diantara mereka.
---------------------------------------------------------------------------------------------------------
Dua belas tahun kemudian
Geist der Jugend kini menjadi yayasan ternama. Geist der Jugend telah memiliki apartemen dhuafa, tempat pembinaan bagi para anak jalanan dan sekolah gratis dhuafa. Chandra tidak lagi duduk sebagai pengasuh Geist der Jugend, kini ia lebih sering memantau dan berdiskusi dengan generasi pengurus Geist der Jugend.
“Selamat Siang Pak Chandra” tiba-tiba terdengar suara salam disertai ketukan pada pintu ruang kantornya
“Selamat siang, ada yang bisa saya bantu?” tanya Chandra ramah pada sosok anak muda yang menjadi tamunya pagi itu
“Ya, saya dari salah satu yayasan anak jalanan, bermaksud meminta bapak untuk menjadi donatur kami, tentunya jika bapak bersedia”  Jawab anak muda itu mantap
“Boleh saya lihat profil yayasan Anda ? “ ujar Chandra tetap dengan senyum khasnya
“Tapi bukan berarti orang-orang yayasan kami harus memilih bapak dalam pemilihan gubernur bulan depan” Anak muda itu menyerahkan map merah yang sangat chandra kenal. Ia melihat anak muda itu dengan seksama, ucapannya sangat menyentakkan hati Chandra.
“Anton, kaukah itu?” Ujar Chandra sumringah
“Iya kak, ini aku maling kecil yang pernah mencuri dompet ka Chandra untuk membeli makanan buat ibu yang kelaparan” Jawab Anton sambil memeluk Chandra.
“Apa kegiatanmu sekarang?” Tanya Chandra penasaran
“Sekarang aku magang di salah satu rumah sakit international di Jakarta, bulan depan gelar dokter akan kuraih, dan tentunya sang Geist der Jugend harus datang hari itu” Kata Anton bangga.
“Ka Chandra, aku akan selalu ingat tindakan pemberani kakak hari itu, bagaimana ka Chandra memperjuangkan hak pilih kaum dhuafa, agar tidak dibeli oleh politisi curang, aku takkan melupakan itu kak. Ka Chandra selalu menjadi inspirasiku dimanapun aku berada” Anton kini mengulurkan tangan untuk menjabat tangan Chandra.
       Chandra begitu terharu melihat usahanya untuk membangun masyarakat sekitarnya tidak sia-sia. Ia bangga bisa membuat seorang anak jalanan menjadi dokter dan memberikan kebahagian bagi orang lain yang tidak seberuntung dirinya.
“Semoga Geist der Jugend yang tak pernah lelah, selalu optimis, dan pemberani tumbuh di hati semua anak muda bangsa ini” Doanya dalam hati
=============================The End===============================