Halaman

Rabu, 30 November 2011

Empat Huruf Satu Kata

Entah mengapa aku selalu membanggakanmu. Meskipun orang lain menganggapmu sosok yang biasa-biasa saja. Tapi bagiku kaulah panutan, teladan dalam hidupku. Masih kuingat waktu kecil dulu, ketika awal masuk sekolah dasar. Engkau mengantarkanku ke toko sepatu  untuk membeli sepatu sesuai keinginanku. Kita berkeliling pasar sejak pagi hingga sore hari aku belum juga menemukan sepatu sesuai seleraku, tapi dengan sabar kau mengantarkanku berpindah dari satu toko ke toko lainnya sambil memperkenalkanku bangga dengan pada teman-temanmu yang kau temui di sepanjang jalan. “ Ini jagoan bungsuku lagi nyari sepatu buat sekolah perdananya besok”. Hingga akhirnya menjelang maghrib, aku menemukan sepatu pilihanku. Sepatu Bergambar “Ultraman Leo” jagoanku.
Aku juga tak pernah lupa ajaranmu, kala aku mencoba berbohong untuk menutupi kenakalanku, “Katakanlah yang benar sebagai kebenaran meskipun pahit kenyataannya, dan katakan yang salah itu salah meskipun mengenai dirimu sendiri anakku”, Itu katamu sambil mencium keningku. Aku merasakan betapa dirimu menyayangiku. Aku juga masih selalu ingat kemarahanmu padaku, setiap kali aku menangis sambil mengadu padamu karena aku kalah dalam perkelahian dengan teman bermainku. Sambil memintaku berdiri di hadapanmu, kau berkata “ Anak laki-laki tidak boleh cengeng, Tidak boleh jadi tukang mengadu. Ayah akan menghukum kamu, jika kau menangis saat kalah dalam perkelahian. Jika memang kamu benar maka jangan takut, dan lawanlah. Tapi jika kamu salah segeralah meminta maaf pada temanmu” Itulah yang kau katakan sambil memegang pundak kecilku. Setelah itu kau memelukku sambil berbisik “ ayah sayang padamu, tapi Ayah tidak ingin menjadikan kau sebagai pengecut”. Ayah aku sungguh menyayangimu. Tak ingin kulepas pelukanmu saat itu. Aku sangat bangga padamu. Aku hanya ingin terus berada dipelukanmu dan merasakan kehangatan kasih sayangmu.
Ayah, masih terngiang selalu dalam pikiranku. Ketika perpisahan di sekolah dasar, saat kau diundang untuk memberikan sambutan orang tua siswa berprestasi, dengan bangganya kau berkata pada mereka “ Dari awal masuk sekolah, aku sudah yakin kalau jagoan bungsuku akan menjadi juara kelas. Dialah putraku yang sangat kusayang, yang selalu membuatku bangga, dan aku akan selalu bangga karena namaku telah ada dibelakang namanya”,. Matamu berkaca-kaca Ayah, engkau kembali datang mencium pipiku dan memberikan kehangatan kasih sayang dengan pelukanmu. Meski kutahu dibalik kepalaku kau coba menghapus air mata bahagiamu agar aku tak menilaimu sebagai ayah yang cengeng.
Ayah aku ingin ditemani seperti pertama kali masuk sekolah menengah dulu. Ayah mengantarkanku mendaftar dan menjemputku saat pulang tes. Meskipun kau harus meninggalkan pekerjaanmu selama seminggu hanya untuk bersamaku menjalani segala macam tes untuk persiapan masa depanku.  Itu saat-saat terakhir kita bersama ayah. Karena dengan kebijaksanaanmu, kau harus melepasku sekolah di tempat kakak yang sangat jauh dari rumah kita , hanya agar aku bisa menjadi anak laki-laki yang mandiri dan tidak manja. Ayah aku rindu akan ajaran-ajaranmu dan kasih sayangmu. Meskipun kita tidak bersama waktu itu, setiap subuh kau selalu menelpon hanya untuk membangunkanku sholat subuh, karena kau tahu aku sangat susah bangun subuh. Itu kau lakukan selama lebih dari dua bulan sampai aku terbiasa untuk bangun subuh sendiri dan berjamaah di mesjid. Ayah setiap kali menelfon kau selalu berkata “ Qul Haq Haqqa walaw Kana Murran, Wa qul Batil Batilan Walaw Binafsih” itulah ajaran yang tak akan pernah kulupakan ayah.

Ayah, aku sering tertawa sendiri, saat mengingat betapa bodohnya aku saat menjelang lebaran kala  itu. Aku marah padamu ayah, Aku ngambek, aku cuek padamu, aku tak ingin melihat wajahmu, dan aku selalu menepis tanganmu setiap saat kau coba meraihku. Ya, aku marah karena kau tak membelikanku baju baru kesayanganku, baju berwarna merah dengan gambar Satria Baja Hitam RX yang sedang mengeluarkan Pedang Anak Matahari. Aku kecewa padamu ayah karena aku menganggap kau tak menyayangiku, kau tak menuruti permintaanku. Tapi alangkah malunya aku, saat aku berlari masuk ke kamarku karena menghindarimu, dan aku melihat di atas kasurku ada baju merah pesananku dan celana hitam, serta sepatu bata hitam tinggi dengan plat yang menyala. Dengan senang aku terpaku melihat barang tersebut satu per satu. Dengan lembut aku merasakan ada tangan yang sangat kukenal yang merangkulku dari belakang diiringi dengan suara bisikan “ Ayah sayang kan pada jagoan bungsu ayah?, apakah jagoan ayah ini masih marah pada Ayah?” ucapmu ayah sambil memelukku dari belakang. Sambil menangis Aku pun berbalik dan memelukmu “ aku tidak marah sama ayah, aku juga sayang sama ayah, maafkan saya ayah” Ucapku dengan polos. Dengan memelukku erat kau berkata “ Ayah sudah memaafkan kamu nak, Ayo cobalah baju kesayanganmu”.
Ayah ingin kuraih tanganmu yang penuh kasih sayang, ingin kutatap wajahmu yang penuh kebijaksanaan, ingin kucium kepalamu yang penuh cinta, dan kupeluk tubuhmu yang penuh kehangatan. Ayah dengan mulutmu kau selalu membelaku setiap kali kakak-kakakku mencoba menggangguku. Tak jarang saudaraku merasa iri padaku karena kasih sayangmu begitu berlebih padaku, tapi dengan ide cemerlang yang berlandaskan cinta kau selalu dapat menjelaskan pada mereka bahwa dirimu memperlakukan kami sama, tak ada yang diistimewakan, meskipun kutahu kau lebih menyayangiku daripada anak-anakmu yang lain.
Ayah aku sangat merindukanmu ditengah sukses yang kuraih. Aku ingin mengajakmu untuk turut larut dalam bahagiaku. Kuingin memanjakanmu di usia senjamu, membalas semua kasih sayang yang telah kau berikan di masa kecilku dulu. Ku hanya ingin menjaadikanmu orang tua yang paling bahagia dalam sisa hidupnya karena memiliki anak yang telah ia didik dengan penuh kebijaksanaan dalam limpahan kasih sayang. Ayah aku ingin mencium tanganmu setiap saat aku akan berangkat kerja, membangunkanmu di kala subuh untuk sholat berjamaah, dan menemanimu bercerita tentang hal-hal yang belum sempat kuketahui dari dirimu sambil minum tengah hangat buatan mantumu sambil memangku cucumu. Sungguh aku ingin kau bahagia Ayah.
-----------------------------------------------------------------------------------------------------------------
“Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar, Lailaha Illallah wallahu Akbar,
Allahu Akbar, Walillah ilham”
Lafaz Takbir Idul fitri membangunkanku dari tidur. Segera kuusap mataku, akupun heran mendapatinya basah. Akupun teringat mimpiku semalam. “Ayah” sosok teladan yang tak pernah ada di dunia nyataku. Kata itu selalu terngiang-ngiang dalam benakku. Sungguh ajaib kata itu. Kata yang kubenci, namun sosoknya kurindukan. Meskipun sosok tersebut tak pernah terlihat olehku dan tak dapat terbayang dalam fikiranku. Seperti apakah wajahmu wahai makhluk penghasil makhluk. Sungguh memuakkan kata yang mewakili dirimu, namun sungguh merindukan sosokmu. Ayah idealku hanya ada dalam khayalku. Terkadang hadir dalam mimpiku, namun apakah dia yang hadir dalam mimpiku adalah sosokmu yang menjadi penyebab kelahiranku. Ayah, adalah kata yang bisa membuat ibu menangis dan kehilangan kebahagiaan untuk sesaat, namun sosokmu akan selalu kurindukan dan akan menjadi misteri dalam hidupku. Ayah izinkan aku mengenalmu meskipun hanya semenit di dunia nyataku. Ayah izinkan aku membunuhmu dengan cintaku.
http://www.facebook.com/rahmat.ali.s

Tidak ada komentar: